Rabu, 30 Desember 2020

RUMAH TANGGA ROSULULLOH

 



RUMAH TANGGA RASULULLAH



ALANGKAH indahnya, jika rumah tangga dibina berdasarkan akhirat oriented (mengarah pada akhirat). Aroma surgawi akan tercium dari kemuliaan akhlaknya. Hubungan internal begitu harmonis. Individu-individu yang berada di dalamnya berusaha menggapai ampunan, dan ridha Allah . Semuanya berpacu dalam misi fastabiqul khairat (berlomba-lomba menuju kebaikan). Bagi keluarga seperti ini, tiada kata henti mengukir kebaikan. Semuanya senantiasa kompak bersabar hingga masuk surga sekeluarga.

Siapa pun yang menghendaki nuansa demikian, maka contoh idealnya adalah rumah tangga Rasulullah Al-Qur'an menggambarkan, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu surf teladan yang baik bagimu,"(QS Al-Ahzab: 21). Beliau pun sejak awal memberi contoh, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.' (HR. Tirmidzi).

Maka sudah selayaknya mahligai rumah tangganya patut diteladani.Berikut ini akan disajikan beberapa gambaran rumah tangga Rasulullah . Di dalamnya akan disuguhkan bagaimana hubungan nabi dengan istri, anak, cucu, sanak famili, serta pembantunya. Mudah-mudahan dengan mengetahui kehidupan rumah tangga beliau semakin mempermudah kita mencapai target "Masuk Surga Sekeluarga". Amin.

Bersama Istri

Sejak pertama kali berumah tangga, Rasulullah memberi teladan akhlak mulia dan kepedulian sosial pada istrinya. Tak mengherankan, saat Rasulullah khawatir dengan kondisi dirinya pasca menerima wahyu, Khadijah sebagai istri shalihah menenangkan, "Tidak, demi Allah, engkau tidak akan diabaikan oleh Allah selamanya, karena sesungguhnya engkau telah menyambung hubungan silaturahmi, menolong yang lemah, memberi orang yang membutuhkan, melayani tamu, dan membela kebenaran."(HR. Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah benar-benar menghiasi rumah tangganya dengan akhlak mulia dan berusaha memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan sosialnya. Istrinya pun mendukung. Dirinya tak merasa berat menginfakkan harta yang melimpah ruah untuk kepentingan dakwah. Bahkan, hartanya sampai ludes demi perjuangan suaminya menegakkan agama Islam.

Ada kejadian yang mengharukan. Saat Nabi diperintahkan menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Khadijah menyuruhnya istirahat sejenak. Lantas beliau berkata padanya, "Wahai Khadijah, waktu tidur dan istirahat telah habis." (Muhammad Husain Haikal, Hayed Muhammad, 97). Kata-kata yang kuat ini membuat Khadijah bersemangat. Bahwa hari-harinya kedepan akan diprioritaskan untuk kepentingan akhirat.

Rumah tangga yang dibangun bersama Khadijah adalah rumah tangga yang dipenuhi dengan perjuangan dan pengorbanan. Dinamika dakwah benar-benar hidup di dalamnya. Maka, wajar ketika ditinggal wafat (bulan Ramadhan tahun 10 kenabian), beliau mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Sampai-sampai tahun kepergiannya dalam sejarah dicatat sebagai "Tahun Duka Cita'. Beliau betul-betul merasakan kehilangan. Saat-saat bersama istri tercinta, selalu abadi dalam kenangan (Shafiyur Rahman Mubarakfuri, al-Rahiq 104).

Sepeninggal Khadijah, beliau masih konsisten dengan visi

dan misi rumah tangganya (seperti saat bersama Binti Khuwailid). Dalam kehidupan keluarga, ayah Fathimah ini dikenal sangat memahami perasaan istri-istrinya. Pada suatu hari, Rasulullah berkata kepada Aisyah: "Sung guh aku tabu saat kamu ridha, atau marah padaku. Jika kamu ridha padaku, kau mengatakan, Tidak, demi Tuhannya Muhammad.' Sedangkan ketika marah, kau mengatakan, Tidak. Demi Tuhannya Ibrahim." (HR. Muslim). Dengan mengetahui perasaan istrinya, dapat membantu beliau bersikap dengan sebaik-baiknya.

Tak sekadar itu, ketika melihat kesalahan istri di depan umum, beliau tak meluapkan emosi, tapi malah menghadapi dengan sabar dan memahami kecemburuan istrinya. Ummu Salamah pernah bercerita: "(Suatu saat) Aku menghidangkan makanan

beserta piring kepunyaanku kepada Rasulullah dan para

sahabatnya. Kemudian beliau bertanya (pada sahabatnya),

`Siapa yang membawa makanan ini?'. Mereka menjawab, `Ummu Salamah.'. Lalu datanglah Aisyah (dipenuhi kecemburuan) sembari membawa batu dan memecahkan piringnya. Tanpa komentar apa-apa, beliau langsung mengumpulkan pecahan piring, kemudian berkata pada para sahabatnya: `Makanlah! Ibu kalian sedang cemburu.' Kemudian Rasulullah mengambil piring Aisyah lalu dikirim ke Ummu Salamah, dan memberikan piring Ummu Salamah kepada Aisyah. (HR. Bukhari, Abu Daud). Begitu simpelnya, hingga permasalahan pun bisa diatasi. Pada suatu kesempatan, beliau memberi nasihat pada para

sahabatnya: "Pergauilah istri dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu hendak meluruskannya, maka akan pecah. Jika kamu biarkan, maka akan tetap bengkok. Maka pergauilah istri dengan balk." (HR. Bukhari). Yang penting dicatat dalam hal ini, pergaulan baik dengan istri sudah dilakukan setiap hari di rumah tangganya sebelum menasihati para sahabat.

Sebagai suami beliaujuga curhat, bahkan mengajak istri

bermusyawarah. Nabi Muhammad bermusyawarah dengan

istri-istrinya dalam permasalahan yang penting. Sebagai contoh, Rasulullah pernah bermusyawarah dengan Ummu Salamah pada perjanjian Hudaibiah (6 H), ketika para sahabatnya tak mengindahkan perintah Rasul untuk menyembelih dan mencukur rambut. Akhirnya Ummu Salamah mempunyai ide bagus: tidak usah pakai omongan, tapi langsung saja dipraktikkan di hadapan mereka. Akhirnya mereka pun mengikuti (Ibnu Katsir, Sirah Nabawiah, 335).

Bila memang dibutuhkan, beliaujuga tak segan-segan

menampakkan cinta dan kesetiaan pada istrinya. Rasulullah pernah berkata kepada Aisyah pada hadits yang panjang mengenai Ummu Zar' : "Aku dan dirimu bagaikan Abu Zar ' dan Ummu Zar ." Maksudnya: Aku dan kamu seperti mereka berdua dalam hal cinta dan kesetiaan. Lalu Aisyah berkomentar, "Sungguh Engkau lebih baik bagiku dari Abu Zar' dan Ummu Zar .." (HR. Bukhari, Muslim). Masih terkait dengan kesetiaan, meski Khadijah sudah lama meninggal, beliaujuga masih setia dan mengenangnya. Sampai-sampai hati Aisyah dirundung cemburu akibat nama Khadijah sering disebut.

Untuk membangun keharmonisan rumah tangga, ada saja hal unik yang dilakukan. Di antara yang beliau lakukan adalah:

membuat nama kesayangan untuk istri. Dalam beberapa riwayat, beliau memanggil Aisyah dengan panggilan sayang: 'Aisy (HR. Bukhari, Muslim) dan Humairas (HR. Baihaqi, Thabrani). Maka sangat dimaklumi jika kisah-kisah beliau bersama Aisyah penuh dengan romantika dan harmoni cinta.

Pada suatu kesempatan, beliaujuga makan dan minum

bersama istrinya. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah dan Aisyah minum dengan gelas dan piring yang sama. Bahkan makan claging pacla bekasj jlatan Aisyah (HR. Nasai).

Dalam rumah tangga, beliau tidak berkomentar atau mengeluh dengan kelakuan istri selama dalam hal mubah. Aisyah berkata, `Aku pernah menyisir rambut Rasulullah padahal sedang haidh.' (HR. Bukhari). Beliau juga tak pernah mencela masakan istri. Kalau beliau suka, akan dimakan, kalau tidak suka, beliau biarkan tanpa mencacatnya (HR. Bukhari).

Sebagai bentuk kasih sayang, terkadang beliau bersandar

dan tidur di pangkuan istrinya. Aisyah bercerita: `Rasulullah bersandar di pangkuanku, pada waktu aku sedang haidh.' (HR. Muslim). Di samping itu, terkadang kalau ada waktu luang, beliau juga menemani istri jalan-jalan. Bukhari meriwayatkan: Ketika malam, nabi berjalan bersama Aisyah, sembari berbincang-bincang. Bahkan, ketika ada momen ekspedisi militer, beliau acap kali mengundi istrinya untuk diajak ikut bersama.

Yang lebih menakjubkan beliau dengan suka cita membantu pekerjaan rumah. Dalam riwayat Bukhari disebutkan: Ketika Aisyah ditanya mengenai apa yang dilakukan Rasul saat di rumah, beliau menjawab: `Beliau membantu pekerjaan istrinya.' Beliau tidak membebankan kewajiban rumah hanya pada istri. Beliau sendiri turut membantu. Ketika Aisyah ditanya tentang pekerjaan Rasulullah di rumah, beliau menjawab: *Sebagaimana layaknya manusia lain, menjahit baju, memerah susu, dan melayani dirinya (HR.Ahmad).

Beliau juga sangat sabar dan berusaha membahagiakan istri selama dalam hal yang tak terlarang. Suatu saat Abu Bakar datang ke rumah Nabi, waktu itu beliau sedang tertutup dengan baju, karena ada dua dua perempuan muda yang sedang menabuh gendang di depan Aisyah, lalu Abu Bakar kaget dan mencegahnya. Nabi pun melarangnya seraya berkata: "Biarkan mereka berdua! Ini adalah hari raga." (HR. Bukhari).

Bahkan dengan mesra, Nabi sempat bersama Aisyah menyaksikan atraksi perang budak sudan di masjid. Aisyah bercerita: "Saat Hari Raya biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi atau beliau yang menawarkan kepadaku, `Apakah

kamu mau melihatnya?' Maka aku jawab, mau.' Maka beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku

bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata, Teruskan hai Bani Arfadah!' Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata, `Apakah kamu merasa sudah cukup?' Aku jawab,

sudah.' Beliau lalu berkata, `Kalau begitu pergilah.' (HR. Bukhari).

Jika istri marah, beliau dengan sabar menenangkan dan meredam kemarahan istrinya. Bahkan, beliau mengajarkan do ' a meredam kemarahan kepada istrinya. Ummu Salamah pernah diajari Nabi do' a meredam kemarahan:

"Ya Allah Tuhan Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkan kemarahan hatiku, anugerahkan padaku pahala dari fitnahfitnah yang menyesatkan, selama Engkau menghidupkan kami." (HR. Ahmad).

Terkadang, Beliau juga tak sungkan memuji istrinya. Suatu saat Rasulullah memuji Aisyah: "Sesungguhnya keutamaan Aisyah atas semua wanita adalah seperti tsarid (adonan roti paling enak saat itu) atas segala makanan.' (HR. Muslim). Pujian yang proporsional terhadap istri memang bisa membuat rumah tangga menjadi langgeng.

Manusia pilihan ini, tak malu menyatakan cinta serta merasa bahagia dengan istrinya. Rasulullah berkata tentang Khadijah: "Sungguh aku dikaruniai cintanya." (HR. Muslim). Pernah juga saat beliau ditanya Amru bin Ash mengenai istri yang paling dicintai.Beliau menjawab, `Aisyah.' (HR. Bukhari, Muslim).

Meski beliau sangat baik dalam memperlakukan istri-istrinya, tapi beliau juga tegas ketika istrinya berbuat salah. Suatu saat istri-istrinya demo meminta sesuatu yang tak dimiliki Rasulullah

. Mereka meminta nafkah lebih. Dengan tegas Rasulullah menolak, bahkan memberi pelajaran berharga pada mereka. Beliau

berpisah dari mereka selama satu bulan. Kisah ini bersesuaian dengan turunnya Surah Al-Ahzab: 28 (HR. Muslim). Dengan ketegasan ini akhirnya mereka sadar bahwa mereka bersalah, dan tak mau mengulanginya lagi.

Intinya, hubungan nabi dengan istrinya benar-benar menggambarkan keluarga teladan yang berorientasi akhirat.

Bersama Anak

Sebagai seorang ayah Beliau memberikan contoh terbaik

dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Dengan pergaulan yang baik ini, dalam catatan sirah nabawiah, Beliau sukses mendidik anak-anaknya. Terbukti, semua anak-anaknya masuk Islam. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Ishaq menuturkan, "Adapun anak-anak perempuan Beliau mendapati Islam, masuk Islam dan ikut hijrah bersama nabi " (Yusuf Shalihi, Subulu al-Huda wa al-Rasydd, 108). Di sini yang disebut hanya anak perempuan karena, anak-anak laki-lakinya meninggal sejak kecil.

Sebagai orang tua, Beliauselalu mengarahkan anaknya.

satu bentuk pengarahan Rasulullah * pada anak-anaknya sebelum diutus menjadi Nabi ialah menanamkan akhlak mulia dan kepedulian sosial. Pasca diangkat menjadi Rasul, dengan segera beliau mengajak anak-anaknya. masuk Islam. Pada waktu itu Zainab berusia 10 tahun; Ruqayya berusia 7 tahun; Ummi Kaltsum berusia 6 tahun, sedangkan Fathimah masih sangat belia. Meski masih relatif muda, mereka bisa menerima dengan baik.

Anak-anak Nabi dibesarkan dalam rumah tangga yang berorientasi akhirat. Sebagai contoh: Zainab bisa mengajak suaminya yang Musyrik menjadi Muslim, Ruqayya (putri beliau) bersama suaminya (Utsman bin 'Allan) ikut serta hijrah ke Habasyah demi kepentingan dakwah. Demikian juga Ummi Kaltsum, yang juga ikut berjuang di jalan dakwah bersama Utsman

bin 'Affan sampai wafat di Madinah. Fathimah pun juga ikut ambil bagian. Sebelum hijrah, di saat orang-orang kafir menyakiti nabi dengan melempar kotoran dan jeroan unta pada waktu sedang shalat, Fathimah dengan sigap menyingkirkannya. Intinya, semua anak-anaknya bisa diarahkan pada pendidikan berorientasi akhirat.

Beberapa pengalaman khusus bersama Fathimah juga sedikit-banyak memberikan gambaran penting bagaimana hubungan rasul dengan anaknya. Anak yang dididik sejak kecil ini bukan saja mirip wajah dan gaya jalannya, akhlaknya pun juga sangat mirip. Putri tersayangnya ini sejak mengenal Islam sudah ikut berjuang bersama Beliau. Karenanya, Beliau sangat menyayanginya.

Saat Ali hendak menikahi al- ' Aura (putri Abu Jahal), beliau berkata, "Tidak mungkin anak Rasulullah dengan anak musuh Allah bersatu. Fathimah adalah bagian dariku." (Abdul Razzaq)

al-Mushannaf, 7/300). Menjelang wafat nabi memberitahunya bahwa dia akan menjadi penghulu wanita di surga.

Sebagai ayah kebanggaan, Beliau memberikan kasih sayang yang cukup pada anaknya. Anas bin Malik pernah bertutur, "Aku tak pernah melihat seorang pun yang paling sayang dengan keluarganya melebihi Rasulullah (HR. Muslim). Saat Ibrahim sedang dalam persusuannya, Beliau .mendatanginya kemudian mengangkat lalu mengecupnya. Makanya, ketika Ibrahim wafat, beliau sangat sedih.

Beliau sangat peduli terhadap anak perempuannya. Saat

Ruqayyah dan Ummu Kaltsum diceraikan oleh Utbah dan Utaibah (putra Abu Lahab), beliau segera mencarikan jodoh. Keduanya secara berurutan di kemudian hari menjadi istri Utsman bin 'Affan. Berkat bimbingan beliau pula, Zainab mampu

membimbing suaminya(Abu 'Ash bin Rabi ) yang sebelumnya musyrik menjadi beriman.

Bersama Cucu

Suatu hari Rasulullahmencium Hasan bin Ali. Pada waktu

itu di samping Beliauada Aqra' bin Ha’bis. Ia berkomentar,

"Aku mempunyai sepuluh anak, tapi tak ada satu pun yang pernah kucium." Kemudian Rasulullah berkata padanya, "Barangsiapa yang tidak sayang, maka tidak akan disayang." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad). Jadi, mencium anak adalah salah satu bentuk kasih sayang.

Di lain waktu, saat shalat berjama'ah di masjid, beliau pernah menggendong cucu beliau, Umamah (anak Zainab). Ketika sujud Beliau letakkan di bawah, kemudian saat berdiri beliau gendong lagi (HR. Bukhari, Muslim). Peristiwa ini menggambarkan betapa sayangnya Beliau kepada cucunya.

Kejadian yang sama juga pernah dilakukan. Saat Beliau bersujud sangat lama dalam shalat berjama'ah karena dinaiki Hasan dan Husain, ada sahabat yang bertanya, `Mengapa melakukan demikian?' Rasulullah menjawab, "Aku tak suka membuatnya tergesah-gesah, sampai dia memenuhi hajatnya" (HR. Nasai, Ahmad, dan Hakim).

Jika ada waktu senggang, Beliau meluangkannya untuk

bermain dengan cucu dan mendoakan kebaikan padanya. Usamah bin Zaid meriwayatkan, suatu saat Rasulullah mengangkatku di pahanya, kemudian meletakkan Hasan bin Ali di paha sebelahnya, lantas beliau berdoa, "Ya Allah sayangilah keduanya, sesungguhnya aku menyeyangi keduanya." (HR. Bukhari, Ahmad, dan Nasa 'i).

Abdullah bin Ja 'far bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa saat nabi pulang dari safar beliau menyempatkan diri bertemu cucu-

cucunya lalu memboncengnya bersama beliau dalam satu kendaraan (HR. Muslim, Baihaqi, dan Nasai).

Dengan hasil interaksi yang sangat bagus ini, akhirnya atas izin Allah, Beliau bisa mendidik cucu yang baik. Hasan dan Husain, kelak akan menjadi pemimpin pemuda ahli surga sebagaimana hadits riwayat, Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Bersama Sanak Keluarga

Hubungan baik beliau bukan saja berhenti pada istri dan anaknya, bahkan kepada sanak keluarganya pun juga sangat perhatian. Saat Abu Thalib kesusahan karena memiliki anak banyak dengan kemampuan finansial yang memprihatinkan, beliau dengan Hamzah berinisiatif membantunya. Waktu itu Nabi Muhammad membantu pamannya mengurusi salah satu anaknya. Dibawalah Ali bin Abi Thalib ke rumahnya untuk diasuh supaya meringankan beban beban Abu Thalib.

Sampai pada menjelang kematian pun, Beliau berusaha dengan keras membantu pamannya agar pengorbanan yang selama ini dilakukan tidak sia-sia. Meski pada akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan kafir. Beliau pun sempat memintakan ampun, sampai pada akhirnya ditegur Allah. Dialah yang memberi petunjuk, Muhammad hanya bertugas sebagai penyampai.

Beliaujuga sangat peduli terhadap kerabat dan teman

akrab istri. Setiap kali Rasulullah menyembelih kambing, ia

berkata: `Kirimkan sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.' (HR. Muslim). Padahal, Khadijah sudah meninggal dunia. Tapi, tetap saja Rasulullah berbuat baik kepada kerabat dan teman akrabnya.

Selepas perang Badar, ada beberapa sanak keluarga Nabi (seperti: Abbas bin Abdul Muthalib, Abu 'Ash bin Rabi'), menjadi

tawanan perang. Rasulullah akhirnya bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berpendapat lebih baik tawanan itu dibebaskan dengan tebusan, karena di antara mereka adalah masih saudara dan famili. Hal itu dilakukan dengan harapan Allah memberi petunjuk mereka pada Islam. Umar berpendapat lain. Menurutnya, orang seperti mereka harus dihabisi. Rasul pun lebih condong pada pendapat Abu bakar (Macirezi, Imta 'u al-Asma 344).

Pasca perang Hunain (8H), kabilah Hawazin ada yang menjadi tawanan. Saat Nabi Muhammad tahu kalau di antara mereka ada saudari sesusunya (Syaima' binti Halimah As-Sa' diyah), yang dilakukan nabi adalah: memuliakan, melepaskan, diberikan ghanimah, dan kembali ke kampungnya dengan gembira (An-Nimri, Al-Ducar fi Ikhtisari al-Maghazi wa al-Siyar, 230-231).

Peristiwa lain yang bisa dicatat ialah ketika Nabi hendak keluar Mekah (pasca Umrah Qadha , 6 H), beliau dipanggil anak permpuan Hamzah bin Abdul Muthallib, "Paman, Paman." (Terenyuhlah hati Beliau). Berebutlah Ali, Ja ' far dan Zaid bin Haritsah untuk mengasuhnya. Rasul pun memutuskan agar is diasuh oleh bibinya [saudara ibunya] (Abu Hasa al-Nadawi, alSirah al-Nabawiah, 433). Semua itu adalah contoh kecil bagaimana perhatian Nabi kepada sanak familinya.

Bersama Pembantu

Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya yang berjudul Zeidu. Ma 'dd(1/113), menyebutkan beberapa pembantu Nabi di antaranya: Anas bin Malik (bagian melayani kebutuhan Rasulullah)

Abdullah bin Mas'ud (bagian pembawa sandal dan siwaknya), Uqbah bin 'Amir al-Juhani (bagian pemandu keledainya), Asla' bin Syuraik (bagian urusan safari), Bilal (sebagai Mu 'adzin), Sa 'ad maula

Abu Bakar, Abu Dzar al-Ghifari, Aiman bin 'Maid (bagian tempat bersuci dan yang berkaitan dengan).

Terkait perlakuan Rasulullah SAW terhadap pembantunya, simak baik-baik pernyataan 'Aisyah berikut ini, "Rasulullah tak pernah memukul sesuatu pun dengan tang annya, baik itu perempuan, maupun pembantu, melainkan dalam jihad (perang) di jalan Allah." (HR. Muslim). Sebuah kesaksian luar biasa yang menggambarkan kelembutan dan kasih sayang Rasul kepada pelayannya.

Sebagai tuan dari pembantunya, Beliau mengingatkan dengan cara yang baik dan tak pernah membentak. Perhatikan kesaksian Anas bin Malik, "Rasulullah adalah orang yang paling indah budi pekurtinya. Pada suatu hari Beliau menyuruhku untuk suatu keperluan. Maka aku berkata: "Demi Allah, aku tidak mau pergi (seolah-olah Anas tidak mau melakukan perintah Rasulullah namun hal itu terjadi karena beliau masih kecil), akan tetapi dalam hatiku aku bertekad akan pergi untuk melaksanakan perintah Nabi kepadaku." Lalu aku pun pergi, hingga aku melewati beberapa anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba Rasulullah memegang tengkukku (leher bagian belakang) dari belakang. Dia (Anas) berkata: "Lalu aku menengok ke arah beliau, dan beliau tersenyum. Lalu kata beliau: "Wahai, Anas kecil! Sudahkah engkau melaksanakan apa yang aku perintahkan?" Aku menjawab: "Ya, saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah.." Anas radhiyallahu 'anhu berkata: "Demi Allah, sembilan tahun lamanya saya membantu Rasulullah aku tidak pernah mengetahui Beliau menegur saya atas apa yang aku kerjakan dengan ucapan: "Mengapa kamu melakukan begini dan begitu." ataupun terhadap apa yang tidak aku kerjakan, dengan perkataan:" Kenapa tidak kamu lakukan begini dan begini." (HR. Muslim).

Terkait masalah (budak atau pembantu) Rasulullah pernah menasihati Abu Dzar al-Ghifari, "Saudara-saudara kalian adalah budak dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan (kekuasaan) kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (kekuasaannya), hendaklah ia memberinya makanan dari apa-apa yang dia makan, memberinya pakaian dari jenis pakaian apa yang dia pakai, dan janganlah kalian membebani (memberi tugas) mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka."(HR. Bukhari). Jadi pelayan diperlakukan sama dengan majikannya.

Lebih dari itu, Anas menceritakan, saat pembantu Nabi (anak Yahudi) sedang sakit, dengan cepat Beliau membesuknya. Beliau juga mendakwahkan Islam padanya. Dengan suka hati di samping dukungan orang tuanya, akhirnya pelayan tersebut masuk Islam. Demikianlah akhlak Nabi kepada para pembantunya (HR. Bukhari). Dari rumah tangga yang beliau bangun berdasarkan orientasi akhirat sebagamana paparan di atas, kita akan mendapat banyak pelajaran untuk diteladani. Pertama, sebagai suami, dia berhasil mendidik istri-istrinya dengan kasih sayang dan perjuangan untuk kepentingan akhirat. Sukses menjadi suami yang mensinergikan istri dalam perjuangan dakwah. Khadijah dan Aisyah adalah salah satu contoh keberhasilannya. Kedua, sebagai ayah, Beliau

mampu mengarahkan anak-anaknya dengan pendidikan rabbani. Sebagaimana Fathimah dan saudara-saudarinya. Ketiga, Sebagai kakek, beliah telah mencurahkan kasih sayang dan pendidikan yang baik, sebagaimana yang dilakukan pada Hasan dan Husain. Keempat, sebagai keluarga beliau tetap bisa menjalin hubungan yang baik dengan sanak famili. Kelima, sebaga majikan, beliau mampu menunjukkan tauladan terbaik, sehingga menimbulkan

kesan mendalam bagi pembantu-pembantunya sebagaimana Anas bin Malik dan lainnya.

Maha Benar Allah yang berfirman dalam Kitab SuciNya:

"Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung."(Qs. Al-Qalam: 4).

Dengan akhlak mulia yang terpancar pada jenak-jenak kehidupan rumah tangga beliau, beliau sukses menjadi suami, ayah, kakek, keluarga, dan majikan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan, "Siapa saja yang menginginkan rumah tangga idaman, maka bercerminlah pada keluarga Rasulullah Beliau adalah contoh terbaik bagi setiap orang yang mau masuk surga sekeluarga." Wallahu a 'lam bi al-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Back to top
Copyright © 2020 RESELLER AL-QURAN TERBAIK | Design by Play100 Solusi Financial | Supported by Motivasi Bisnis